Dari subuh hingga senja, tangan-tangan perempuan petani tak henti bekerja mengolah tanah, menanam benih, hingga memastikan hasil panen sampai ke pasar. Mereka adalah nafas utama sektor pertanian, terutama di pedesaan. Namun, ironisnya, peran besar mereka sering kali terpinggirkan. Dalam kebijakan, dalam akses terhadap sumber daya, bahkan dalam pengakuan sosial, kontribusi perempuan di ladang dan sawah masih dianggap sekadar “pelengkap”, bukan sebagai kekuatan utama yang menopang ketahanan pangan bangsa.
Berdasarkan data BPS Maret 2021, sebanyak 55,79% dari total penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan, dengan mayoritas mata pencaharian mereka berasal dari sektor pertanian skala kecil. Dalam konteks gender, 49% rumah tangga pertanian di Indonesia terdiri dari perempuan (Sensus Pertanian, 2018). Namun, perempuan di sektor pertanian sering kali menghadapi tantangan yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Mereka tidak hanya dibebani dengan tanggung jawab rumah tangga, tetapi juga mendapatkan akses yang lebih terbatas ke sumber daya seperti pupuk, benih berkualitas, teknologi pertanian, dan pendanaan.
Produktivitas Perempuan Tani dalam Bayang-Bayang Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan dalam akses sumber daya berdampak signifikan pada produktivitas perempuan di sektor pertanian. Studi menunjukkan bahwa hasil panen petani perempuan 20-30% lebih rendah dibandingkan petani laki-laki. Padahal, jika perempuan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, produksi pertanian dapat meningkat secara signifikan. Laporan International Association of Agricultural Students (IAAS, 2022) bahkan menyebut bahwa dengan meningkatkan akses perempuan terhadap input pertanian, kita bisa menurunkan jumlah kelaparan global hingga 100-150 juta orang.
Penelitian terbaru juga menyoroti bahwa perempuan lebih banyak terjebak dalam pekerjaan pertanian yang bersifat tidak berbayar, musiman, dan paruh waktu, dengan upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. (Wamalwa & Njoroge, 2024)
Selain itu, sebuah studi yang dilakukan oleh Acosta et al. (2025) di negara-negara berkembang menemukan bahwa kebijakan pertanian masih belum cukup responsif terhadap kebutuhan perempuan. Jika kebijakan pertanian tidak segera menyesuaikan dengan prinsip kesetaraan gender, maka sektor ini akan kehilangan peluang besar dalam meningkatkan ketahanan pangan global.

Urgensi Peningkatan Peran Perempuan di Pertanian
Permintaan pangan global diperkirakan akan meningkat 100-110% pada tahun 2050 (Tilman et al., 2011). Artinya, dunia membutuhkan strategi jangka panjang yang bisa meningkatkan produktivitas pertanian. Perempuan, sebagai bagian penting dari rantai pasokan pangan, harus mendapatkan dukungan yang lebih besar. Membangun kapasitas perempuan tani dan meningkatkan akses mereka terhadap teknologi, pasar, serta pendanaan tidak hanya menguntungkan petani perempuan, tetapi juga sektor swasta dan pemerintah.
Di Indonesia, pemberdayaan perempuan di sektor pertanian mulai mendapat tempat tersendiri. Kelompok Wanita Tani (KWT) hadir sebagai wadah pemberdayaan perempuan di sektor pertanian. Melalui berbagai program pelatihan, akses modal, hingga pendampingan usaha, KWT telah menjadi motor perubahan bagi perempuan petani di berbagai daerah di Indonesia.
Keberadaan KWT memungkinkan perempuan petani mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam meningkatkan keterampilan bertani, mengelola usaha, dan memperkuat posisi mereka dalam sistem pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Avazura dkk. (2024) menunjukkan bahwa anggota KWT memiliki akses yang lebih baik terhadap pasar dan sumber daya dibandingkan perempuan yang bekerja secara individu. Mereka juga lebih mampu menegosiasikan harga dan memanfaatkan teknologi pertanian modern. Tidak hanya itu, KWT juga berperan dalam memperkuat jaringan sosial perempuan petani, sehingga mereka dapat berbagi pengalaman, saling mendukung, dan memperjuangkan kebijakan yang lebih inklusif. Dengan segala manfaat yang telah dirasakan, sudah saatnya pemerintah dan pemangku kebijakan memberikan dukungan lebih besar kepada KWT, baik dalam bentuk fasilitas, pelatihan yang lebih beragam, maupun akses permodalan yang lebih luas. Karena dengan memperkuat KWT, kita tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional
Menuju Masa Depan yang Lebih Setara
Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap Sustainable Development Goals (SDG) 2030, termasuk dalam hal kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Namun, pencapaian ini tidak bisa hanya bergantung pada regulasi semata. Dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk swasta dan masyarakat, untuk memastikan perempuan tani mendapatkan kesempatan yang sama dalam membangun ketahanan pangan nasional.
Dengan memberikan akses lebih luas terhadap sumber daya pertanian, pelatihan teknologi, serta perlindungan upah yang setara, perempuan tidak hanya bisa menjadi tulang punggung sektor pertanian, tetapi juga pemimpin dalam inovasi pertanian masa depan
Tanpa perempuan tani yang berdikari, pertanian tak akan lestari